Perempuan
Bergaun Hitam
Hari
ini Ainy pulang lebih cepat dari biasanya. Di lihatnya jam yang menempel di
tangan kirinya itu, sekarang waktu sudah menunjuk pukul 13 lewat 13 menit. Ainy
berjalan perlahan sambil menikmati hembusan angin yang sepoi-sepoi. Lurus di
hadapannya berdiri sebuah bangunan berlantai tiga yang sudah tidak berpenghuni .
Terlihat kumuh dan kotor sekali. Rumput liar pun tumbuh berserakan, mengisi
setiap ruang yang ada. Beratapkan awan dan tanpa pintu serta tanpa pula
jendela. Wajar saja, sudah 13 tahun bangunan yang hampir rapuh itu berdiri.
Tidak ada yang mengurus bangunan tersebut. Padahal banyak orang yang sering
datang menjamahi tempat itu. Terutama orang-orang yang berpakaian serba hitam
dengan kain yang terikat di kepala.
Mata Ainy tiba-tiba beralih fokus pada
sesuatu yang ada sekitar bangunan itu. Ainy berjalan mendekati bangunan di
tuntun oleh matanya. Nampak sesosok pria sedang berdiri di sana. Tepatnya pria
itu menghadap pas ke sebuah pohon beringin yang berada di samping bangunan
berlantai tiga itu. Cahaya matahari membelakangi sehingga tak nampak jelas apa
yang sedang di lakukannya. Akhirnya Ainy memutuskan untuk menghampiri pria
misterius itu. Masih separuh jalan tiba-tiba pria yang akan di hampirinya itu
menoleh ke arah Ainy. Ainy pun tersontak dan segera menghentikan langkahnya. Di
lihatnya tajam pria itu dan dia nampak tersenyum kecil. Ainy lantas menggerakan
kepalanya ke belakang. Tidak ada seorang pun. Memutar ke kanan lalu ke kiri
juga mendapatkan hasil yang sama, tidak ada siapa-siapa. Jadi senyum itu untuk?
Ainy lalu kembali ke posisinya semula. Pria yang baru saja tersenyum itu sudah
tidak ada lagi di tempatnya. Menghilang tanpa suara. Yang tersisa hanya gedung
berlantai tiga dan sebuah pohon beringin. Itu saja.
Malam telah kelam. Di seberang ufuk
timur matahari mulai terbit perlahan. Ainy berjalan terpontang-panting menuju
kamar mandi. Dengan rambut yang berantakan dan mata yang masih terpejam. Gadis
16 tahun ini tinggal tanpa orang tua. Hanya di temani Ibu pembantu dan Pak
Kusman security rumah. Sedang ke dua orang tuanya sibuk berbisnis di luar kota.
Mungkin 13 hari ke depan akan pulang.
“Pak
Kusman…“ panggil Ainy.
“Iya
non Ainy, ada perlu apa memanggil saya?” balas security itu sesampai di hadapan
Ainy.
“Mau
tanya Pak, apa boleh?” senyum Ainy.
“Oh
tentu saja boleh non, mau tanya apa silahkan saja.” timpal Pak Kusman.
“Bapak
tahu bangunan kosong yang ada di seberang jalan sana?” tanya Ainy sambil
menunjuk seakan bangunan yang di maksut ada di depannya.
“Bangunan
yang ada di jl.Angkera itu? Iya non soal asal-usulnya saya tahu. Saya sudah
lama ada di perumahan ini.”
“Bapak
bisa ceritakan bangunan apa itu dulu?” tanya Ainy lagi.
“Ah
ada keperluan apa ya kok non Ainy ini ingin…”
Belum
selesai bicara Ainy sudah memotongnya. Mencengkeram tangan kanan Pak Kusman
lalu menyeretnya ke sofa. Duduklah mereka.
“Ayolah
Pak, ceritakan sedikit saja. Ainy hanya sekedar ingin tahu.” mohon Ainy seusainya
duduk.
“Jangan
non, berbahaya. Non Ainy kan tahu sendiri sekilas dari depan bangunannya cukup
menyeramkan. Sekalipun siang maupun malam.” tolak Pak Kusman.
“Baiklah.”
balas Ainy singkat sambil memasang efek cemberut di mukanya.
“Non
dengarkan baik-baik. Tapi sungguh hanya ingin tahu saja kan Non?” balas Pak
Kusman segera yang telah menyadari bahwa anak majikannya itu kesal.
“Iya
Pak, ayo cepat jelaskan.” girang Ainy dengan tersenyum lebar.
“Jadi
dulu bangunan itu adalah rumah tempat tinggal, milik Pak Kenji seorang
pengusaha yang kaya. Tapi Pak Kenji sudah meninggal 13 tahun yang lalu.” terang
pria yang sudah berusia setengah abad ini.
“Oh…meninggal
karena apa Pak? Komplikasi penyakit?”
“Bukan
lah non…” tawa Pak Kusman.
“Ada
tragedi sewaktu itu. Kediaman keluarga Pak Kenji di masuki sekawanan rampok.
Seluruh harta benda habis tak tersisa dan semua yang pada saat itu ada di dalam
rumah sudah tidak bernyawa, termasuk pembantu-pembantunya.” lanjut Pak Kusman.
“Astaga…”
desis Ainy sambil menutup mulutnya.
“Tragisnya
lagi putri tunggal Pak Kenji meninggal dengan kepala dan tubuhnya terpisah.
Kepalanya ada di lantai 3 sedang tubuhnya di lantai bawah.”
“Pak
jangan nakut-nakutin dong. Jadi merinding kan.” kesal Ainy.
“Bukan
maksut begitu tapi memang seperti itu kenyataanya non.”
“Terus
rumahnya Pak? Kenapa enggak di fungsikan lagi, kan sayang.”
“Yaaa
semenjak saat itu rumah tersebut menjadi angker dan tidak ada yang berani
memasukinya. Hanya paranormal saja.” senyum Pak Kusman.
“Dan
dari tahun ke tahun selalu saja ada yang meninggal. Penyebabnya tidak lain karena
ke angkeran rumah itu.” tambah Pak Kusman.
“Oh
begitu ya Pak. Yasudah makasih ya Pak Kusman.” kata Ainy sambil beranjak dari
tempatnya duduk.
“Loh
non Ainy mau ke mana?” tanya Pak Kusman sembari ikut berdiri.
“Mau
cari udara segar.” tutup Ainy sambil berjalan dan pergi.
Sejak saat itu Ainy melebihkan
penasarannya terhadap bangunan kosong berlantai 3 yang terkenal dengan ke
angkerannya. Termasuk yang membuatnya penasaran ialah pria misterius yang
pernah di temuinya. Hingga sampai sekarang tak tahu siapa pria itu.
Malam ini malam jum’at. Ainy duduk
di kursi taman sambil memandang lurus ke arah orang-orang berpakaian hitam yang
entah sibuk apa mereka di sana. 113 meter dari tempatnya duduk ke bangunan
kosong itu. Sebuah handycam sudah standby di tangan kanannya dan 2 orang
menemaninya duduk. Sebut saja, Yana dan Aisyah.
Waktu menunjuk pukul 00 lewat 13
menit. Akhirnya orang-orang berpakaian serba hitam satu per satu mulai pergi.
Suasana daerah sekitar terasa senyap semenjak orang-orang itu menghilang. Ya
memang karena hanya mereka saja yang berkeliaran di hari dan jam serta tempat
semacam ini. Ainy dan ke dua temannya mulai berjalan perlahan. Mendekati
bangunan kosong yang ada di seberang sana.
Sepanjang perjalanan banyak sekali
ayam cemani yang mereka temui. Ini ayam-ayam milik siapa. Paranormal tadi.
Entahlah.
Kini bangunan itu sudah ada di depan
mereka. Tak terlewatkan mata mereka juga melihat pohon beringin yang berdiri
kokoh di samping bangunan tua itu. Angin berhembus semakin kencang. Udara
dingin ikut menyemaraki suasana sekitar. Malam yang pekat, sangat sunyi dan
begitu sepi.
Ainy mulai mengangkat handycam yang
di pegangnya. Mengayunkan ke kiri lalu ke kanan. Dengan tajamnya Ainy memandang
layar handycam, seksama, dan teliti. Sedang dua teman yang bersamanya itu memainkan
senter. Berjalan ke kiri lalu kembali ke kanan, dari pojok bawah hingga pojok
atas. Ainy dan temannya terlihat semangat sekali. Berharap mendapatkan sesuatu.
13 menit berlalu. Suasana masih sama
saat pertama menginjakkan kaki. Masih sepi. Hanya terdengar suara dedaunan
menari yang habis di terpa hembusan angin. Bahkan tak ada interaksi antara Ainy
dengan temannya, saking seriusnya. 13 menit yang ke dua berselang. Hingga pada
akhirnya salah satu dari mereka mulai berbicara.
“Ainnn…
“ desis salah satu temannya.
“Iya
apa Yan?” balas Ainy sambil mengangkat alisnya dan menoleh ke arah temannya,
Yana.
“Aku
pengen pipis. Udah nggak tahan nih… “ eluh Yana dengan ekspresi kecut.
“Di
taman sana tadi ada toilet. Kamu ke sana aja sama Ais. Biar aku tunggu sini.”
sibuk melihat layar handycam sambil di arahkan ke kanan dan ke kiri.
“Yaudah
kamu tunggu sini ya. Jangan ke mana-mana loh. Yuk Is.”
“Iya-iya.”
tutup Ainy.
Ainy kini berdiri sendiri di depan
bangunan kosong. Hanya seorang. Sekarang perasaan takutnya muncul. Lebih terasa
dan semakin kuat. Ainy baru tersadar betapa seramnya tempat ini. Entah apa yang
di lihatnya dari tadi tapi benar bulu kudunya baru ini mulai merinding. Tapi
Ainy tidak merasa harus lari dari tempat ini. Tetap tenang sambil memainkan
handycamnya.
Dari arah jam 9. Nampak buram tapi
jelas itu sesosok perempuan sedang berdiri. Ainy melihatnya dari layar
handycam. Di turunkannya handycam itu. Kini semakin jelas terlihat. Kira-kira
jauhnya 13 meter dari tempat Ainy berada. Ainy dan perempuan itu berdiri saling
berhadapan. Itu Aisyah, loh ngapain Aisyah di situ, batin Ainy.
“Aisyah…
Hey…” sahut Ainy sambil melambaikan tangannya.
Akan
tetapi perempuan yang di maksut Ainy, Aisyah itu hanya diam saja.
“Aisyah,
hey ngapain kamu di situ.” sahut ulang Ainy sambil mendongakkan kepala dan
menjijit kaki.
Tetap
saja. Malahan perempuan itu membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi.
Ainy yang melihat tingkah temannya
itu jadi bingung dan terkejut. Ainy lalu mengikutinya dari belakang. Sambil
berulang kali memanggilnya. Tapi perempuan itu terus berjalan dan tak mau
berhenti. Karena perempuan itu berjalan sangat pelan Ainy pun dapat
menyusulnya.
“Hey…”
sapa Ainy sambil menepuk pundak perempuan itu.
Tiba-tiba
saja ada teriakan dari arah belakang. Itu suara teriakan dari teman-teman Ainy
yang memanggil-manggil namanya.
“Ainy…
Ainy… Dimana kamu?” berulang-ulang teriakan itu keluar.
Ainy
pun langsung membalikkan tubuhnya. Hanya sebentar, hanya menengok sekilas. Lalu
dia kembali pada posisi semula. Loh. Perempuan tadi ke mana. Perempuan yang
baru saja di tepuk pundaknya itu.
Ainy tersontak. Sesaat setelah tahu
bahwa perempuan tadi sudah ada di seberang sana. Sejak kapan dia ada di sana.
Cepat sekali. Ainy memperhatikan perempuan itu. Benar kok itu memang Aisyah.
Perempuan itu tersenyum kepada Ainy. Tapi, entah kenapa justru senyumnya itu
membuat Ainy merinding. Membuatnya takut.
Ainy masih tetap berdiri sambil
memperhatikan senyuman dari perempuan itu. Berdiri kaku, hanya mata dan alis
yang dapat di gerakkan olehnya. Semakin lama di lihatnya, senyuman itu berubah
menjadi senyuman jahat. Senyuman jahat seakan perempuan itu ingin melakukan
sesuatu kepada Ainy. Hingga tanpa di sadari ada seseorang yang menepuk pundak
Ainy dari belakang.
“Hey!”
sapa perempuan ini.
Ainy
terkejut tapi hanya sebatas alis matanya terangkat.
“Kamu
ngapain di sini. Katamu suruh tunggu di sana.” lanjut perempuan ini.
Ainy
mendengarkannya bicara tapi tak membalasnya. Ainy semakin terkejut ketika
melihat yang satu ini. Dia melihat di depannya itu, yang barusan berbicara
adalah Yana, lalu di susul belakang Yana ada Aisyah. Ha? Aisyah? Terus yang
tadi? batin Ainy. Seketika itu Ainy membalikkan tubuhnya dan menyipitkan
matanya ke seberang jalan. Tidak ada siapapun di sana. Yang terlihat hanya
beberapa pohon, tidak ada orang yang berdiri maupun tersenyum.
“Kenapa?
Kayaknya habis terjadi sesuatu deh ya?” kepo Yana.
“Iya
kamu kelihatannya kaget. Memangnya apa yang barusan terjadi?” tanya Ais juga.
“Ah
gapapa kok, nggak ada apa-apa Yana… Ais…” jawab Ainy sambil tersenyum.
Mereka bertiga memutuskan untuk
menyudahi penulusurannya. Sudah 3 jam mereka menghabiskan waktu di sini.
Langit-langit juga sebentar lagi akan berganti warna. Lagipula mereka juga
pasti capek. Apalagi Ainy yang baru saja mengalami kejadian aneh. Untung saja
Ainy tidak shock dan masih bisa untuk tersenyum. Akan tetapi tak bisa di
pungkiri kalau dia, Ainy, masih memikirkan hal janggal yang barusan melandanya.
Masih melewati rute yang sama
seperti saat mereka masuk ke area bangunan kosong. Saat tengah perjalanan
mereka bertiga sama-sama masih memikirkan. Ya benar. Ayam cemani yang mereka
lihat saat perjalanan masuk tadi. Bukankah di sini ayam cemani itu tadi
berkeliaran. Tapi mengapa kini tak ada. Ke mana ayam-ayam itu pergi. Atau
jangan-jangan… mereka hanya salah lihat saja.
Pagi yang kelabu. Nampaknya
awan-awan yang sedang berjalan manis itu sebentar lagi akan menangis. Rumah
bernomor 13 masih sunyi. Tak terlihat aktivitas sedikitpun di sana. Pintu pagar
saja masih terkunci rapat. Bahkan Pak Kusman, security rumah tak ada di pos
penjagaan.
Hujan pun turun. Di mulai dari
setitik hingga turun rintik-rintik. Tak membutuhkan waktu yang lama, hujan lalu
bergulir deras dan semakin deras. Kilatan halilintar bertebaran di
langit-langit. Di susul bunyi dentuman yang menggelegar. Hingga membuat Ainy
terbangun dari tidurnya.
Ainy melepaskan selimutnya lalu
beranjak dari ranjang sambil mengusap-usap matanya. Berjalan pelan menuju
jendela yang ada di dalam kamarnya. Di bukanya perlahan kain yang menutupi
jendela. Astaga, awannya suram sekali, batin Ainy. Tak ada sedikitpun cahaya
yang masuk ke dalam kamar Ainy. Saking mendung dan derasnya hujan.
Ainy lalu meluncur turun ke bawah
untuk menyalakan lampu. Hari ini Ainy di rumah sendirian, Bibi dan Pak Kusman
libur jadi dia yang harus mengatur rumah sekarang. Merasa sudah cukup
penerangan Ainy memutuskan kembali atas, ke kamarnya. Saat melewati ruang
tengah, Ainy menghentikan langkahnya. Lalu dia kembali berjalan. Tapi berlawan
arah dari sebelumnya. Ainy melangkah menuju ruang tamu yang ada di depan. Di
angkutnya handycam yang ada di atas meja yang semalam habis di gunakannya itu.
Duduk Ainy di atas ranjang sambil
memandangi hujan. Sesekali menghela nafas lalu mengeluarkannya. Bukan apa-apa,
hanya saja dia merasa kurang siap menyalakan handycam yang sudah ada di
genggamannya itu. Ainy menengok ke kanan lalu ke kiri, belakang, dan terakhir
ke atas. Sudah merasa cukup siap Ainy
pun menyalakannya.
Bukan ini, bukan yang ini. Bukan
itu, bukan yang itu. 13 menit berlalu akhirnya ketemu hasil video semalam. Ainy
memandangi tajam gambar covernya. Benar yang ini, batinnya. Ainy menghela nafas
kembali sesambil meneguk ludah.
Hujan masih turun dengan deras.
Berikut dengan suara sambaran halilintar yang masih jelas terdengar. Pagi ini
benar-benar kelabu, entah sampai kapan mentari akan berhenti murung. Ainy lalu menghitung
mundur dengan jarinya. 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1. Play! Now Playing PBH-1313-31310.
Sendirian. Hanya Ainy seorang. Duduk
bersila di atas ranjang dengan tenang. Matanya tak terkedipkan sejak 13 detik
yang lalu. Begitu serius dengan apa yang di lihatnya. Sekalipun halilintar
datang dengan bunyi yang menggelegar.
Tak lama kemudian Ainy mempause video
yang di lihatnya. Matanya semakin di dekatkan pada layar handycam. Mengreyitkan
mata sambil memiringkan 30 derajat kepalanya. Ada yang janggal dari video
tersebut. Di menit ke 13 tepat, nampak Ainy sedang, sedang berdiri dan di
belakangnya ada sesosok wanita yang kepalanya menyadar di pundak Ainy. Ha itu
aku? batin Ainy. Padahal semalam hanya Ainy yang memegang handycam ini, tapi
mengapa ada dirinya di dalam video. Ainy duduk melemas lalu menjatuhkan
tubuhnya ke ranjang. Handycam di letakkannya begitu saja. Memejamkan mata
sambil menghela nafasnya. Ainy sedikit terkejut tp perasaannya biasa saja.
Tiba-tiba
saja handycam itu memutar sendiri, memutar video yang di pause oleh Ainy tadi.
Ainy yang mendengar jelas suara itu berasal dari handycamnya segera beranjak. Seketika
itu handycam yang berposisi terbalik dengan Ainy segera diambilnya. Tapi, tapi setelah
di pegangnya mengapa handycamnya tidak memutar. Bukankah tadi baru saja
berputar. Mengapa berhenti. Aneh.
Ainy
menyadari sesuatu bahwa gambarnya berbeda dari sebelumnya. Di sana memang benar
ada Ainy sedang berdiri, tapi tidak ada kepala yang menyadar di pundak Ainy
lagi. Ainy mengosongkan mulutnya. Terkejut.
Ainy
berdiri lalu melompat dari kasurnya. Keluar dari kamar dan meninggalkan
handycam yang aneh itu di ranjangnya. Berjalan pelan menuju kamar mandi.
Sesampainya di sana, Ainy memandangi wajahnya di cermin. Mencuci tangannya
dengan mata masih melihat ke cermin. Berikut giliran kepalanya.
Tangan
Ainy sibuk mengusap-usap mukanya. Terus diusapnya seakan wajahnya habis terkena
lumpur yang super kental. Merasa sudah cukup Ainy lalu mengangkat kepalanya.
Astaga, apa itu. Wajah fresh Ainy tiba-tiba saja berubah. Alis hingga dagu tak
ada sedikitpun gerakan. Mulutnya sedikit menganga. Bulu matanya tak bergeming.
Ya Tuhan, siapa itu… batin Ainy.
Tangan
Ainy nampak bergemetar. Terlebih jari jemarinya. Pundaknya terasa berat sekali.
Ingin Ainy berlari sekencangnya menabrak cermin yang ada di hadapannya itu,
namun kaki-kaki ini seperti di lem. Mata Ainy semakin tajam melihat cermin
hingga air mata perlahan turun di pipinya. Kali ini mulutnya ikut bergemetar.
Saking merinding dan takutnya.
Pundaknya
terasa berat sekali. Sesosok perempuan yang jelas di lihatnya dari cermin itu
adalah penyebabnya. Dengan gaun hitam yang kotor dan kusut menutupi tubuh
perempuan tersebut. Tangannya memegang kepala Ainy sambil menyisir-nyisir
rambut Ainy. Kaki-kakinya yang penuh darah melingkar di leher Ainy. Astaga,
astaga, astaga, Tuhan kumohon…
Kini
Ainy bisa melihat wajahnya. Setelah perempuan itu memutar 180 derajat
kepalanya. Mata Ainy masih tajam melihat cermin. Pelan, pelan mata Ainy
bergerak ke atas . Hingga mereka saling bertatapan. Hanya mereka berdua. Ainy
menatap jelas bola mata itu, matanya putih kusam. Pupilnya juga putih? Hanya
berwarna putih? Astaga, kapan ini akan berakhir Tuhan… batin Ainy lagi. Entah
apa maksutnya, tiba-tiba saja perempuan itu tersenyum kepada Ainy dengan
bibirnya yang merah memanjang. Perempuan itu kemudian tertawa kecil sejenak lalu
kembali tersenyum. Senyum yang dingin.
Ainy
benar-benar takut, merinding tak karuan. Raut wajah Ainy pucat, sangat pucat.
Matanya semakin menajam. Mulutnya menganga dengan sedikit getaran dan keringat
mengucur di setiap bagian tubuhnya. Tak pernah di pikirkan olehnya akan
mengalami hal destorsi semacam ini. Ada sesosok perempuan bergaun hitam kusut
menyelimuti tubuhnya. Melingkari lehernya, dan tangan-tangan halus itu
menyentuh kepalanya. Serta senyuman, senyuman manis yang bisa di rasakannya
dari sesosok hantu perempuan yang duduk indah di pundaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar