Kamis, 29 November 2012

Perempuan Bergaun Hitam


Perempuan Bergaun Hitam


          Hari ini Ainy pulang lebih cepat dari biasanya. Di lihatnya jam yang menempel di tangan kirinya itu, sekarang waktu sudah menunjuk pukul 13 lewat 13 menit. Ainy berjalan perlahan sambil menikmati hembusan angin yang sepoi-sepoi. Lurus di hadapannya berdiri sebuah bangunan berlantai tiga yang sudah tidak berpenghuni . Terlihat kumuh dan kotor sekali. Rumput liar pun tumbuh berserakan, mengisi setiap ruang yang ada. Beratapkan awan dan tanpa pintu serta tanpa pula jendela. Wajar saja, sudah 13 tahun bangunan yang hampir rapuh itu berdiri. Tidak ada yang mengurus bangunan tersebut. Padahal banyak orang yang sering datang menjamahi tempat itu. Terutama orang-orang yang berpakaian serba hitam dengan kain yang terikat di kepala.
            Mata Ainy tiba-tiba beralih fokus pada sesuatu yang ada sekitar bangunan itu. Ainy berjalan mendekati bangunan di tuntun oleh matanya. Nampak sesosok pria sedang berdiri di sana. Tepatnya pria itu menghadap pas ke sebuah pohon beringin yang berada di samping bangunan berlantai tiga itu. Cahaya matahari membelakangi sehingga tak nampak jelas apa yang sedang di lakukannya. Akhirnya Ainy memutuskan untuk menghampiri pria misterius itu. Masih separuh jalan tiba-tiba pria yang akan di hampirinya itu menoleh ke arah Ainy. Ainy pun tersontak dan segera menghentikan langkahnya. Di lihatnya tajam pria itu dan dia nampak tersenyum kecil. Ainy lantas menggerakan kepalanya ke belakang. Tidak ada seorang pun. Memutar ke kanan lalu ke kiri juga mendapatkan hasil yang sama, tidak ada siapa-siapa. Jadi senyum itu untuk? Ainy lalu kembali ke posisinya semula. Pria yang baru saja tersenyum itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Menghilang tanpa suara. Yang tersisa hanya gedung berlantai tiga dan sebuah pohon beringin. Itu saja.
            Malam telah kelam. Di seberang ufuk timur matahari mulai terbit perlahan. Ainy berjalan terpontang-panting menuju kamar mandi. Dengan rambut yang berantakan dan mata yang masih terpejam. Gadis 16 tahun ini tinggal tanpa orang tua. Hanya di temani Ibu pembantu dan Pak Kusman security rumah. Sedang ke dua orang tuanya sibuk berbisnis di luar kota. Mungkin 13 hari ke depan akan pulang.
“Pak Kusman…“ panggil Ainy.
“Iya non Ainy, ada perlu apa memanggil saya?” balas security itu sesampai di hadapan Ainy.
“Mau tanya Pak, apa boleh?” senyum Ainy.
“Oh tentu saja boleh non, mau tanya apa silahkan saja.” timpal Pak Kusman.
“Bapak tahu bangunan kosong yang ada di seberang jalan sana?” tanya Ainy sambil menunjuk seakan bangunan yang di maksut ada di depannya.
“Bangunan yang ada di jl.Angkera itu? Iya non soal asal-usulnya saya tahu. Saya sudah lama ada di perumahan ini.”
“Bapak bisa ceritakan bangunan apa itu dulu?” tanya Ainy lagi.
“Ah ada keperluan apa ya kok non Ainy ini ingin…”
Belum selesai bicara Ainy sudah memotongnya. Mencengkeram tangan kanan Pak Kusman lalu menyeretnya ke sofa. Duduklah mereka.
“Ayolah Pak, ceritakan sedikit saja. Ainy hanya sekedar ingin tahu.” mohon Ainy seusainya duduk.
“Jangan non, berbahaya. Non Ainy kan tahu sendiri sekilas dari depan bangunannya cukup menyeramkan. Sekalipun siang maupun malam.” tolak Pak Kusman.
“Baiklah.” balas Ainy singkat sambil memasang efek cemberut di mukanya.
“Non dengarkan baik-baik. Tapi sungguh hanya ingin tahu saja kan Non?” balas Pak Kusman segera yang telah menyadari bahwa anak majikannya itu kesal.
“Iya Pak, ayo cepat jelaskan.” girang Ainy dengan tersenyum lebar.
“Jadi dulu bangunan itu adalah rumah tempat tinggal, milik Pak Kenji seorang pengusaha yang kaya. Tapi Pak Kenji sudah meninggal 13 tahun yang lalu.” terang pria yang sudah berusia setengah abad ini.
“Oh…meninggal karena apa Pak? Komplikasi penyakit?”
“Bukan lah non…”  tawa Pak Kusman.
“Ada tragedi sewaktu itu. Kediaman keluarga Pak Kenji di masuki sekawanan rampok. Seluruh harta benda habis tak tersisa dan semua yang pada saat itu ada di dalam rumah sudah tidak bernyawa, termasuk pembantu-pembantunya.” lanjut Pak Kusman.
“Astaga…” desis Ainy sambil menutup mulutnya.
“Tragisnya lagi putri tunggal Pak Kenji meninggal dengan kepala dan tubuhnya terpisah. Kepalanya ada di lantai 3 sedang tubuhnya di lantai bawah.”
“Pak jangan nakut-nakutin dong. Jadi merinding kan.” kesal Ainy.
“Bukan maksut begitu tapi memang seperti itu kenyataanya non.”
“Terus rumahnya Pak? Kenapa enggak di fungsikan lagi, kan sayang.”
“Yaaa semenjak saat itu rumah tersebut menjadi angker dan tidak ada yang berani memasukinya. Hanya paranormal saja.” senyum Pak Kusman.
“Dan dari tahun ke tahun selalu saja ada yang meninggal. Penyebabnya tidak lain karena ke angkeran rumah itu.” tambah Pak Kusman.
“Oh begitu ya Pak. Yasudah makasih ya Pak Kusman.” kata Ainy sambil beranjak dari tempatnya duduk.
“Loh non Ainy mau ke mana?” tanya Pak Kusman sembari ikut berdiri.
“Mau cari udara segar.” tutup Ainy sambil berjalan dan pergi.
            Sejak saat itu Ainy melebihkan penasarannya terhadap bangunan kosong berlantai 3 yang terkenal dengan ke angkerannya. Termasuk yang membuatnya penasaran ialah pria misterius yang pernah di temuinya. Hingga sampai sekarang tak tahu siapa pria itu.
            Malam ini malam jum’at. Ainy duduk di kursi taman sambil memandang lurus ke arah orang-orang berpakaian hitam yang entah sibuk apa mereka di sana. 113 meter dari tempatnya duduk ke bangunan kosong itu. Sebuah handycam sudah standby di tangan kanannya dan 2 orang menemaninya duduk. Sebut saja, Yana dan Aisyah.
            Waktu menunjuk pukul 00 lewat 13 menit. Akhirnya orang-orang berpakaian serba hitam satu per satu mulai pergi. Suasana daerah sekitar terasa senyap semenjak orang-orang itu menghilang. Ya memang karena hanya mereka saja yang berkeliaran di hari dan jam serta tempat semacam ini. Ainy dan ke dua temannya mulai berjalan perlahan. Mendekati bangunan kosong yang ada di seberang sana.
            Sepanjang perjalanan banyak sekali ayam cemani yang mereka temui. Ini ayam-ayam milik siapa. Paranormal tadi. Entahlah.
            Kini bangunan itu sudah ada di depan mereka. Tak terlewatkan mata mereka juga melihat pohon beringin yang berdiri kokoh di samping bangunan tua itu. Angin berhembus semakin kencang. Udara dingin ikut menyemaraki suasana sekitar. Malam yang pekat, sangat sunyi dan begitu sepi.
            Ainy mulai mengangkat handycam yang di pegangnya. Mengayunkan ke kiri lalu ke kanan. Dengan tajamnya Ainy memandang layar handycam, seksama, dan teliti. Sedang dua teman yang bersamanya itu memainkan senter. Berjalan ke kiri lalu kembali ke kanan, dari pojok bawah hingga pojok atas. Ainy dan temannya terlihat semangat sekali. Berharap mendapatkan sesuatu.
            13 menit berlalu. Suasana masih sama saat pertama menginjakkan kaki. Masih sepi. Hanya terdengar suara dedaunan menari yang habis di terpa hembusan angin. Bahkan tak ada interaksi antara Ainy dengan temannya, saking seriusnya. 13 menit yang ke dua berselang. Hingga pada akhirnya salah satu dari mereka mulai berbicara.
“Ainnn… “ desis salah satu temannya.
“Iya apa Yan?” balas Ainy sambil mengangkat alisnya dan menoleh ke arah temannya, Yana.
“Aku pengen pipis. Udah nggak tahan nih… “ eluh Yana dengan ekspresi kecut.
“Di taman sana tadi ada toilet. Kamu ke sana aja sama Ais. Biar aku tunggu sini.” sibuk melihat layar handycam sambil di arahkan ke kanan dan ke kiri.
“Yaudah kamu tunggu sini ya. Jangan ke mana-mana loh. Yuk Is.”
“Iya-iya.” tutup Ainy.
            Ainy kini berdiri sendiri di depan bangunan kosong. Hanya seorang. Sekarang perasaan takutnya muncul. Lebih terasa dan semakin kuat. Ainy baru tersadar betapa seramnya tempat ini. Entah apa yang di lihatnya dari tadi tapi benar bulu kudunya baru ini mulai merinding. Tapi Ainy tidak merasa harus lari dari tempat ini. Tetap tenang sambil memainkan handycamnya.
            Dari arah jam 9. Nampak buram tapi jelas itu sesosok perempuan sedang berdiri. Ainy melihatnya dari layar handycam. Di turunkannya handycam itu. Kini semakin jelas terlihat. Kira-kira jauhnya 13 meter dari tempat Ainy berada. Ainy dan perempuan itu berdiri saling berhadapan. Itu Aisyah, loh ngapain Aisyah di situ, batin Ainy.
“Aisyah… Hey…” sahut Ainy sambil melambaikan tangannya.
Akan tetapi perempuan yang di maksut Ainy, Aisyah itu hanya diam saja.
“Aisyah, hey ngapain kamu di situ.” sahut ulang Ainy sambil mendongakkan kepala dan menjijit kaki.
Tetap saja. Malahan perempuan itu membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi.
            Ainy yang melihat tingkah temannya itu jadi bingung dan terkejut. Ainy lalu mengikutinya dari belakang. Sambil berulang kali memanggilnya. Tapi perempuan itu terus berjalan dan tak mau berhenti. Karena perempuan itu berjalan sangat pelan Ainy pun dapat menyusulnya.
“Hey…” sapa Ainy sambil menepuk pundak perempuan itu.
Tiba-tiba saja ada teriakan dari arah belakang. Itu suara teriakan dari teman-teman Ainy yang memanggil-manggil namanya.
“Ainy… Ainy… Dimana kamu?” berulang-ulang teriakan itu keluar.
Ainy pun langsung membalikkan tubuhnya. Hanya sebentar, hanya menengok sekilas. Lalu dia kembali pada posisi semula. Loh. Perempuan tadi ke mana. Perempuan yang baru saja di tepuk pundaknya itu.
            Ainy tersontak. Sesaat setelah tahu bahwa perempuan tadi sudah ada di seberang sana. Sejak kapan dia ada di sana. Cepat sekali. Ainy memperhatikan perempuan itu. Benar kok itu memang Aisyah. Perempuan itu tersenyum kepada Ainy. Tapi, entah kenapa justru senyumnya itu membuat Ainy merinding. Membuatnya takut.
            Ainy masih tetap berdiri sambil memperhatikan senyuman dari perempuan itu. Berdiri kaku, hanya mata dan alis yang dapat di gerakkan olehnya. Semakin lama di lihatnya, senyuman itu berubah menjadi senyuman jahat. Senyuman jahat seakan perempuan itu ingin melakukan sesuatu kepada Ainy. Hingga tanpa di sadari ada seseorang yang menepuk pundak Ainy dari belakang.
“Hey!” sapa perempuan ini.
Ainy terkejut tapi hanya sebatas alis matanya terangkat.
“Kamu ngapain di sini. Katamu suruh tunggu di sana.” lanjut perempuan ini.
Ainy mendengarkannya bicara tapi tak membalasnya. Ainy semakin terkejut ketika melihat yang satu ini. Dia melihat di depannya itu, yang barusan berbicara adalah Yana, lalu di susul belakang Yana ada Aisyah. Ha? Aisyah? Terus yang tadi? batin Ainy. Seketika itu Ainy membalikkan tubuhnya dan menyipitkan matanya ke seberang jalan. Tidak ada siapapun di sana. Yang terlihat hanya beberapa pohon, tidak ada orang yang berdiri maupun tersenyum.
“Kenapa? Kayaknya habis terjadi sesuatu deh ya?” kepo Yana.
“Iya kamu kelihatannya kaget. Memangnya apa yang barusan terjadi?” tanya Ais juga.
“Ah gapapa kok, nggak ada apa-apa Yana… Ais…” jawab Ainy sambil tersenyum.
            Mereka bertiga memutuskan untuk menyudahi penulusurannya. Sudah 3 jam mereka menghabiskan waktu di sini. Langit-langit juga sebentar lagi akan berganti warna. Lagipula mereka juga pasti capek. Apalagi Ainy yang baru saja mengalami kejadian aneh. Untung saja Ainy tidak shock dan masih bisa untuk tersenyum. Akan tetapi tak bisa di pungkiri kalau dia, Ainy, masih memikirkan hal janggal yang barusan melandanya.
            Masih melewati rute yang sama seperti saat mereka masuk ke area bangunan kosong. Saat tengah perjalanan mereka bertiga sama-sama masih memikirkan. Ya benar. Ayam cemani yang mereka lihat saat perjalanan masuk tadi. Bukankah di sini ayam cemani itu tadi berkeliaran. Tapi mengapa kini tak ada. Ke mana ayam-ayam itu pergi. Atau jangan-jangan… mereka hanya salah lihat saja.
            Pagi yang kelabu. Nampaknya awan-awan yang sedang berjalan manis itu sebentar lagi akan menangis. Rumah bernomor 13 masih sunyi. Tak terlihat aktivitas sedikitpun di sana. Pintu pagar saja masih terkunci rapat. Bahkan Pak Kusman, security rumah tak ada di pos penjagaan.
            Hujan pun turun. Di mulai dari setitik hingga turun rintik-rintik. Tak membutuhkan waktu yang lama, hujan lalu bergulir deras dan semakin deras. Kilatan halilintar bertebaran di langit-langit. Di susul bunyi dentuman yang menggelegar. Hingga membuat Ainy terbangun dari tidurnya.
            Ainy melepaskan selimutnya lalu beranjak dari ranjang sambil mengusap-usap matanya. Berjalan pelan menuju jendela yang ada di dalam kamarnya. Di bukanya perlahan kain yang menutupi jendela. Astaga, awannya suram sekali, batin Ainy. Tak ada sedikitpun cahaya yang masuk ke dalam kamar Ainy. Saking mendung dan derasnya hujan.
            Ainy lalu meluncur turun ke bawah untuk menyalakan lampu. Hari ini Ainy di rumah sendirian, Bibi dan Pak Kusman libur jadi dia yang harus mengatur rumah sekarang. Merasa sudah cukup penerangan Ainy memutuskan kembali atas, ke kamarnya. Saat melewati ruang tengah, Ainy menghentikan langkahnya. Lalu dia kembali berjalan. Tapi berlawan arah dari sebelumnya. Ainy melangkah menuju ruang tamu yang ada di depan. Di angkutnya handycam yang ada di atas meja yang semalam habis di gunakannya itu.
            Duduk Ainy di atas ranjang sambil memandangi hujan. Sesekali menghela nafas lalu mengeluarkannya. Bukan apa-apa, hanya saja dia merasa kurang siap menyalakan handycam yang sudah ada di genggamannya itu. Ainy menengok ke kanan lalu ke kiri, belakang, dan terakhir ke  atas. Sudah merasa cukup siap Ainy pun menyalakannya.
            Bukan ini, bukan yang ini. Bukan itu, bukan yang itu. 13 menit berlalu akhirnya ketemu hasil video semalam. Ainy memandangi tajam gambar covernya. Benar yang ini, batinnya. Ainy menghela nafas kembali sesambil meneguk ludah.
            Hujan masih turun dengan deras. Berikut dengan suara sambaran halilintar yang masih jelas terdengar. Pagi ini benar-benar kelabu, entah sampai kapan mentari akan berhenti murung. Ainy lalu menghitung mundur dengan jarinya. 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1. Play! Now Playing PBH-1313-31310.
            Sendirian. Hanya Ainy seorang. Duduk bersila di atas ranjang dengan tenang. Matanya tak terkedipkan sejak 13 detik yang lalu. Begitu serius dengan apa yang di lihatnya. Sekalipun halilintar datang dengan bunyi yang menggelegar.
            Tak lama kemudian Ainy mempause video yang di lihatnya. Matanya semakin di dekatkan pada layar handycam. Mengreyitkan mata sambil memiringkan 30 derajat kepalanya. Ada yang janggal dari video tersebut. Di menit ke 13 tepat, nampak Ainy sedang, sedang berdiri dan di belakangnya ada sesosok wanita yang kepalanya menyadar di pundak Ainy. Ha itu aku? batin Ainy. Padahal semalam hanya Ainy yang memegang handycam ini, tapi mengapa ada dirinya di dalam video. Ainy duduk melemas lalu menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Handycam di letakkannya begitu saja. Memejamkan mata sambil menghela nafasnya. Ainy sedikit terkejut tp perasaannya biasa saja.
Tiba-tiba saja handycam itu memutar sendiri, memutar video yang di pause oleh Ainy tadi. Ainy yang mendengar jelas suara itu berasal dari handycamnya segera beranjak. Seketika itu handycam yang berposisi terbalik dengan Ainy segera diambilnya. Tapi, tapi setelah di pegangnya mengapa handycamnya tidak memutar. Bukankah tadi baru saja berputar. Mengapa berhenti. Aneh.
Ainy menyadari sesuatu bahwa gambarnya berbeda dari sebelumnya. Di sana memang benar ada Ainy sedang berdiri, tapi tidak ada kepala yang menyadar di pundak Ainy lagi. Ainy mengosongkan mulutnya. Terkejut.
Ainy berdiri lalu melompat dari kasurnya. Keluar dari kamar dan meninggalkan handycam yang aneh itu di ranjangnya. Berjalan pelan menuju kamar mandi. Sesampainya di sana, Ainy memandangi wajahnya di cermin. Mencuci tangannya dengan mata masih melihat ke cermin. Berikut giliran kepalanya.
Tangan Ainy sibuk mengusap-usap mukanya. Terus diusapnya seakan wajahnya habis terkena lumpur yang super kental. Merasa sudah cukup Ainy lalu mengangkat kepalanya. Astaga, apa itu. Wajah fresh Ainy tiba-tiba saja berubah. Alis hingga dagu tak ada sedikitpun gerakan. Mulutnya sedikit menganga. Bulu matanya tak bergeming. Ya Tuhan, siapa itu… batin Ainy.
Tangan Ainy nampak bergemetar. Terlebih jari jemarinya. Pundaknya terasa berat sekali. Ingin Ainy berlari sekencangnya menabrak cermin yang ada di hadapannya itu, namun kaki-kaki ini seperti di lem. Mata Ainy semakin tajam melihat cermin hingga air mata perlahan turun di pipinya. Kali ini mulutnya ikut bergemetar. Saking merinding dan takutnya.
Pundaknya terasa berat sekali. Sesosok perempuan yang jelas di lihatnya dari cermin itu adalah penyebabnya. Dengan gaun hitam yang kotor dan kusut menutupi tubuh perempuan tersebut. Tangannya memegang kepala Ainy sambil menyisir-nyisir rambut Ainy. Kaki-kakinya yang penuh darah melingkar di leher Ainy. Astaga, astaga, astaga, Tuhan kumohon…
Kini Ainy bisa melihat wajahnya. Setelah perempuan itu memutar 180 derajat kepalanya. Mata Ainy masih tajam melihat cermin. Pelan, pelan mata Ainy bergerak ke atas . Hingga mereka saling bertatapan. Hanya mereka berdua. Ainy menatap jelas bola mata itu, matanya putih kusam. Pupilnya juga putih? Hanya berwarna putih? Astaga, kapan ini akan berakhir Tuhan… batin Ainy lagi. Entah apa maksutnya, tiba-tiba saja perempuan itu tersenyum kepada Ainy dengan bibirnya yang merah memanjang. Perempuan itu kemudian tertawa kecil sejenak lalu kembali tersenyum. Senyum yang dingin.
Ainy benar-benar takut, merinding tak karuan. Raut wajah Ainy pucat, sangat pucat. Matanya semakin menajam. Mulutnya menganga dengan sedikit getaran dan keringat mengucur di setiap bagian tubuhnya. Tak pernah di pikirkan olehnya akan mengalami hal destorsi semacam ini. Ada sesosok perempuan bergaun hitam kusut menyelimuti tubuhnya. Melingkari lehernya, dan tangan-tangan halus itu menyentuh kepalanya. Serta senyuman, senyuman manis yang bisa di rasakannya dari sesosok hantu perempuan yang duduk indah di pundaknya.